Jumat, 06 Desember 2013

PENGARUH PERAN KEPEMIMPINAN, MOTIVASI KERJA, KOMITMEN ORGANISASI, KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PENDIDIKAN KEBUDAYAAN DAN OLAHRAGA KOTA BANDA ACEH Proposal Desertasi MUSRIADI NIM. 8126113008 Porgam Studi S3 Manajemen Pendidikan PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintah di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua Undang-undang itu mensyaratkan ada otonomi yang memberikan desentralisasi kewenangan yang lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Konsekuensi logis terjadinya pelimpahan wewenang adalah dalam hal penatan perangkat organisasi Pemerintah Daerah yang berubah baik dalam struktur maupun pola manajemen birokrasinya di tingkat Pemerintah Daerah. Sebab bagaimanapun juga perangkat aturan dan hukum yang ditetapkan dalam rangka mengatur pemerintahan, efektivitasnya akan sangat ditentukan dalam implementasinya. Perkembangan pemerintah sebagai organisasi modern yang pada hakekatnya merupakan organisasi pelayan masyarakat, efektivitasnya tergantung kepada sistem administrasi dan pola manajemen yang diterapkan (Kaspinor, 2004). Ada tiga komponen utama yang berperan dalam kerangka penerapan sistem birokrasi pemerintah yaitu: pertama adalah aturan main (kontitusi, hukum, dan etika), kedua adalah lembaga-lembaga yang berwenang melaksanakan aturan main, ketiga adalah pelaku (pegawai pemerintah termasuk pimpinan pemerintah), (Kaspinor, 2004). Aturan main diperlukan untuk menjamin kelangsungan proses dan pengambilan keputusan yang harus ditaati semua pihak. Aturan main akan mengatur tentang kelembagaan, hak, wewenang, pengawasan dan pemberian perlindungan termasuk pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang dirujuk oleh aturan main tersebut. Konstitusi termasuk undang-undang didalamnya merupakan atuaran main yang menjadi rujukan pemerintah dan warga negara dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini termasuk adalah pengaturan tentang tugas dan wewenang struktur birokrasi pemerintah daerah. Berkaitan dengan penerapan kosntitusi tersebut, maka operasionalnya akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang dirujuk oleh aturan main tersebut. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kelembagaan akan merujuk pada kelembagaan di tingkat pemerintah daerah sebagai konsekuensi logisnya. Dengan diberlakukanya UU Nomor 22 tahun 1999 tersebut menuntut dilakukan penataan kembali kelembagaan pemerintah daerah. Karena ada terdapat beberapa perubahan dalam wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah. Perubahan secara kelembagaan akan berupa rasionalisasi struktur kelembagaan yang mengacu pada peran dan tugas baru sebagaimana amanat dari undang-undang tersebut. Hal lain selain konstitusi dan kelembagaan yang nantinya akan berperan bagi efektifitasnya peran birokrasi pemerintah adalah orang-orang yang akan berperan sebagai pelaku dan bertanggung jawab bekerjanya suatu sistem. Sebab semodern apapun organisasi, maka faktor sumber daya manusia ini masih menjadi kunci keberhasilannya. Sebagaimana dikatakan Stoner (1996) bagaimana sebuah organisasi akan mampu melaksanakan tanggung jawabnya akan banyak tergantung pada orang- orang yang mengelolanya. Berkaitan dengan organisasi kelembagaan di tingkat pemerintah daerah, berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 68 ayat 1 dan 2 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun perangkat organisasi serta formasi dan persyaratan jabatan sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sesuai dengan amanat yang diberikan oleh UU tersebut maka perangkat organisasi yang dibentuk oleh masing-masing pemerintah daerah akan sangat tergantung pada seberapa besar urusan yang akan diambil alih oleh pemerintah daerah sebatas kewenangannya. Penetapan struktur dan penempatan personal-persona (pegawai) yang akan menempati posisi dalam susunan keorganisasian yang baru menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah. Masalah lain yang terjadi dengan diberlakukanya otonomi daerah adalah penataan personel (pegawai) daerah dan adanya pelimpahan pegawai pusat kepada daerah. Dalam operasinya ternyata telah menimbulkan friksi-friksi terutama pada penempatan jabatan-jabatan tertentu dalam sistem keorganisasian yang baru. Banyak pegawai yang kehilangan jabatan semula karena perubahan struktur, atau pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan pangkat/golongan ataupun kecakapannya. Kondisi ini harus dilewati sebagai masa transisi menuju sistem keorganisasian pemerintah daerah yang efektif. Efektivitas birokrasi pemerintah yang menekankan pada fungsinya ketiga elemen yaitu aturan main, kelembagaan, dan personal (pegawai) dalam penerapanya akan sangat ditentukan oleh personal (pegawai) sebagai operatornya. Persolannya kemudian adalah bagaimana pegawai yang ditempatkan dalam struktur birokrasi tersebut dapat menjalankan fungsinya. Sehingga dalam kerangka proses pencapaian tujuan organisasi, kinerja pegawai merupakan faktor yang penting. Sebab kinerja merupakan ukuran sejauh mana kemampuan pegawai untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan apa yang diberikan oleh organisasinya. Dilakukannya penataan pegawai dalam struktur keorganisasian pemerintah daerah yang baru, maka menimbulkan adanya ketidakpuasan pada sebagian pegawai pemerintah daerah. Ketidakpuasan ini akan dapat berimplikasi pada menurunnya motivasi kerja dan komitmen kerja yang bermuara pada rendahnya kepuasan kerja yang berdampak menurunny kinerja pegawai. Banyak kajian tentang sumber daya manusia dan keorganisasian yang menyoroti masalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja. Faktor yang sangat umum dan hampir selalu dikaji dalam penilaian kinerja ini adalah faktor peran kepemimpinan. Sebab sebagai faktor yang mengarahkan organisasi dan juga pemberian contoh perilaku terhadap para pengikut (pegawai) peran kepemimpinan sangat menentukan kemajuan dan kemunduran organisasi (Fuad Mas’ud, 2004). Peran kepemimpinan tidak hanya tentang arah suatu organisasi yang kuat di mana permasalahan dan solusi banyak diketahui, tetapi peran kepemimpinan mengambil bagian dalam suatu konteks perubahan, dalam perubahan yang terus menerus dan tidak menentu tersebut (Alison dan Hartley, 2000). Hal ini membutuhkan suatu pendekatan yang tidak hanya tentang ”implementasi” kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya tetapi undang-undang yang mengatur (Weick, 1995) dalam (Allison dan Hartley, 2000). Inovasi tidak dapat ditetapkan sebelumnya dan oleh karena itu peran kepemimpinan adalah untuk memberikan suatu kerangka dalam mengamati, memelihara, membagi,menggambarkan dan juga mengimplementasikan. Penelitian (Heffes, 2006) pada perguruan tinggi di Amerika dalam beberapa dekade peran kepemimpinan mempunyai pengaruh di dalam membentuk dan mendukung perkembangan organisasi dan kepuasan kerja. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Challagalla dan Shervani, (2006) terhadap 270 pegawai di 5 divisi produk industri dari dua perusahaan fortune 500 juga menunjukan bahwa kontrol aktifitas dan kontrol kecakapan memiliki efek yang berbeda-beda dan mengambarkan pembedaan yang tajam antara dua jenis kontrol perilaku. Akhirnya hasil tersebut menunjukan bahwa peran pemimpin (supervisor) berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Tujuan sistem kontrol yaitu untuk memastikan pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang diinginkan. Dua jenis kontrol, output dan behavior (perilaku) telah diajukan untuk mempengaruhi konsekwensi-konsekwensi kerja yang penting, seperti kinerja dan kepuasan kerja (Anderson et al., 1993 dalam Challagalla dan Shervani, 2006). Senada dengan peran kepemimpinan, motivasi juga menjadi salah satu predictor bagi kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Menurut Hous et al (1993) menyatakan bahwa 30% dari waktu para pimpinan digunakan untuk mengurusi masalah lingkungan manusia (pegawai). Pendekatan yang digunakan dalam memberikan motivasi pada pegawai perlu memperhatikan karesteristik pegawai yang bersangkutan. Studi yang dilakukan oleh Jurkeiwick (2001) membandingkan antara karyawan dan supervisor sektor publik dan swasta memberikan hasil yang berbeda. Pada pegawai sektor publik lebih cendrung motivasi kerja mereka disebabkan oleh adanya kestabilan dan keamanan dalam bekerja dimasa mendatang sebagai faktor utama yang berpengaruh. Sedangkan untuk karyawan sektor swasta motivasi mereka bekerja sangat dipengaruhi oleh tingginya gaji yang mereka peroleh dan kesempatan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi. Pada tingkat supervisor, motivasi pegawai dalam bekerja pada instansi publik dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam memberikan kontribusi dalam membuat keputusan-keputusan yang penting. Selain itu kestabilan dan keamanan kerja masih dominan untuk instansi publik. Hasil penelitian terhadap pegawai sektor publik dan swasta tersebut sama-sama menunjukkan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2000) juga menemukan bahwa motivasi mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja. Di sisi lain, dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya, maka kinerja pegawai juga akan ditentukan oleh sejauh mana pegawai tersebut memiliki komitmen terhadap organisasi. Komitmen akan mencerminkan tingkat kesungguhan pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebab adanya komitmen yang tinggi akan memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja pegawai (Simmons, 2005). Gunz dan Gunz (2004) juga menyatakan bahwa komitmen organisasi dan kepuasan kerja memiliki korelasi positif. Hal ini berarti untuk memenuhi dan meningkatkan kepuasan kerja pegawai, organisasi harus mampu meningkatkan komitmen pegawai. Menurut hasil penelitian McNeese-Smith (1996) ditemukan hubungan yang signifikan positif antara komitmen organisasional dan kepuasan kerja pegawai yang ditunjukan dengan nilai pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kepuasan kerja. Kemudian Suliman (2002) dalam penelitiannya dikawasan Timur Tengah menemukan bahwa komitmen organisasional mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan kerja pegawai. Tingginya absensi dan sering bolos mengindikasikan adanya komitmen organisasi yang rendah dari pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh. Bila seorang pegawai dibayar pada waktu tidak bekerja maka hal yang negatif ini sungguh berpengaruh terhadap produktivitas. Waktu absen yang terlampau banyak tidak saja memakan banyak biaya, tetapi juga berpengaruh negatif terhadap produktivitas jika orang-orang yang tidak terlatih harus menggantikan mereka yang berpengalaman, waktu menunggu yang terlampau lama bisa menimbulkan kebutuhan akan tambahan waktu staff untuk membereskan masalah dan supervisi pun harus meningkat. Para supervisor (pimpinan) bahkan bisa memikul beberapa kewajiban dari para pekerja yang absen dan ketinggalan di hal-hal lainnya. Selanjutnya kepuasan kerja selalu dikaitkan dengan kinerja pegawai. Hal ini berarti untuk dapat meningkatkan kinerja pegawai, organisasi harus mampu memenuhi dan meningkatkan kepuasan kerja pegawainya. Penelitian yang dilakukan oleh Ostroff (2003) terhadap 13.808 pengajar di 298 sekolah menengah pada negara bagian Amerika dan kanada. Hasil penelitinya menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Laschinger, Finegen dan Shamian (2001) juga menemukan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja. Dari uraian tersebut diatas, kepuasan kerja dan kinerja pegawai dijadikan sebagai variabel dependen sedangkan variabel independen yang digunakan hanya dibatasi pada peran kepemimpinan, motivasi, dan komitmen organisasi, dimana ketiga variabel tersebut dijustifikasi oleh penelitian terdahulu yaitu: peran kepemimpinan (Challagalla dan Shervani, 2006), motivasi (Jurkeiwck, 2001, Smith et al., 2000), komitmen organisasi (McNeese-Smith, 1996, Suliman, 2002) dan kepuasan kerja (Ostroff, 2003, Laschinger, Finegen dan Shamian, 2001). B. Rumusan Masalah Hasil penelitian yang dilakukan oleh Challagalla dan Shervani (2006) menunjukan bahwa peran kepemimpinan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Demikian pula halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Jurkeiwick (2001) dan Smith et al. (2000) menyatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh McNeese-Smith (1996) dan Suliman (2002) menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ostroff (2003) dan Laschinger, Finegen dan Shamian (2001). Menemukan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka dapat di rumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh peran kepemimpinan terhadap kepuasan kerja ? 2. Bagaimana pengaruh motivasi terhadap kepuasan kerja ? 3. Bagaimana pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja ? 4. Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai ? 5. Bagaimana pengaruh peran kepemimpinan terhadap kinerja pegawai ? 6. Bagaimana pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis pengaruh peran kepemimpinan terhadap kepuasan kerja 2. Untuk menganalisis pengaruh motivasi terhadap kepuasan kerja. 3. Untuk menganalisis pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. 4. Untuk menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai. 5. Untuk menganalisis pengaruh peran kepemimpinan terhadap kinerja pegawai. 6. Untuk menganalisis pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan bidang manajemen pendidikan. 2. Bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai masukan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan dalam menyusun kebijakan guna meningkatkan pelayanan dan kinerja kepada masyarakat BAB II LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Kinerja Pegawai Kinerja pegawai merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pegawai tersebut dalam pekerjaanya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Menurut Robbins (2003) bahwa kinerja pegawai adalah sebagai fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Dalam studi manajemen kinerja pekerja atau pegawai ada hal yang memerlukan pertimbangan yang penting sebab kinerja individual seorang pegawai dalam organisasi merupakan bagian dari kinerja organisasi, dan dapat menentukan kinerja dari organisasi tersebut. Berhasil tidaknya kinerja pegawai yang telah dicapai organisasi tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari pegawai secara individu maupun kelompok. Kinerja (ferformance) merupakan perilaku organisasional yang secara langsung berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Kinerja seringkali difikirkan sebagai pencapaian tugas, dimana istilah tugas sendiri berasal dari pemikiran aktivitas yang dibutuhkan oleh pekerja (Gibson, 1997). Yukl (1998) memakai istilah proficiency yang mengandung arti yang lebih luas. Kinerja mencakup segi usaha, loyalitas, potensi, kepemimpinan, dan moral kerja. Profisiensi dilihat dari tiga segi, yaitu: perilaku-perilaku yang ditunjukan seseorang dalam bekerja, hasil nyata atau outcomes yang dicapai pekerja, dan penilaian-penilaian pada faktor-faktor seperti motivasi, komitmen, inisiatif, potensi kepemimpinan dan moral kerja. Gibson (1997) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti, kualitas, efesiensi, dan kriteria efektifitas lainya. Kinerja merefleksikan seberapa baik dan seberapa tepat seorang individu memenuhi permintaan pekerjaan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kinerja dipandang sebagai hasil yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Berhasil tidaknya kinerja yang telah dicapai oleh organisasi dipengaruhi oleh tingkat kinerja pegawai secara individu maupun kelompok, dimana kinerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang tergantung dengan ukuran kinerja secara umum, kemudian diterjemahkan kedalam penilaian perilaku secara mendasar yang dapat meliputi berbagai hal yaitu: kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil dalam melakukan pekerjaan dan deskripsi pekerjaan. Untuk mengukur kinerja secara individual, McKenna dan Beech (1995) ada beberapa indikator, indikator-indikator dari kinerja yang sering dipergunakan untuk menilai kinerja individu pegawai menurut McKenna dan Beech adalah : a. Pengetahuan,kemampuandan keterampilan pada pekerjaan/kompeten b. Sikap kerja, diekspresikan sebagai antusiasme, komitmen dan motivasi c. Kualitas pekerjaan d. Interaksi, misalnya keterampilan komunikasi dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam satu tim. B. Kepuasan Kerja Seseorang yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memperlihatkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan memperlihatkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins, 2003). Menurut George dan Jones (2002), kepuasan kerja adalah perasaan yang dimiliki oleh pegawai tentang kondisi tempat kerja merka saat ini. Kemudian menurut Church (1995), kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai macam sikap (attitude) yang dipunyai seorang pegawai. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sikap tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan beserta faktor-faktor yang spesifik seperti pengawasan/supervisi, gaji dan tunjangan, kesempatan untuk mendapatkan promosi atau kenaikan pangkat, kondisi kerja, pengalaman kerja, hubungan sosial di dalam pekerjaan yang baik, penyelesaian yang cepat terhadap keluhan-keluhan dan perlakuan yang baik dari pimpinan terhadap pegawai. McNesee Smith (1996) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau pegawai terhadap pekerjaanya, hal ini merupakan sikap umum terhadap pekerjaan yang didasarkan penilaian aspek yang berada dalam pekerjaan. Sikap seseorang terhadap pekerjaan menggambarkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan juga harapan dimasa mendatang. Kepuasan kerja seorang pegawai tergantung karesteristik pegawai dan situasi pekerjaan. Setiap pegawai akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Semakin banyak aspek dalam,pekerjaan yang sesuai dengan kepentingan dan harapan pegawai tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya. Vroom (1964) dalam Luthan (2005) menggambarkan kepuasan kerja sebagai sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang. Bukti-bukti penelitian terhadap kepuasan kerja dapat dibagi menjadi beberapa katagori seperti, kepemimpinan, kebutuhan psikologis, penghargaan atas usaha, manajemen ideologi dan nilai-nilai, faktor-faktor rancangan pekerjaan dan muatan kerja. Selanjutnya, menurut Locke (1976) dalam Luthan (2005) kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke membagi sembilan dimensi pekerjaan yang merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya dan memiliki kontribusi yang kuat terhadap kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri, pembayaran, promosi, peng-akuan, benefit, kondisi kerja, supervisi, rekan sekerja, dan perusahaan (manajemen). Berdasarkan Luthan (2005), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam depertemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, dan atau rekan kerja mereka. Mereka tidak puas. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka. Mereka merasa puas. Sedangkan Luthan (2005) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang memiliki hubungan dengan kepusan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja. Berdasarkan uraian diatas, terlihat ada enam dimensi serupa dalam penelitian- penelitian yang dilakukan oleh Church, Luthan, dan Locke tersebut, sehingga dimensi-dimensi ini dianggap paling mempengaruhi kepuasan kerja yang dinginkan. Keenam dimensi tersebut adalah pekerjaan itu sendiri, gaji/tunjangan, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja. C. Peran Kepemimpinan Peran kepemimpinan (Challagalla dan Shervani, 2006) adalah pemimpin atau manajer yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan-keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai. Peran adalah sejauh mana peran dipandang penting untuk keberhasilan keseluruhan usaha implementasi level tinggi signifikansi peran yang dipersepsikan akan dikaitkan dengan tanggung jawab implementasi, kontrol kecakapan yang dilakukan pimpinan (supervisor/manajer) dengan kata lain menekankan pengembangan keahlian dan kemampuan individu (Challagalla dan Shervani, 2006). Ini sebuah usaha untuk mempengaruhi kinerja dengan memastikan bahwa para pegawai memiliki perangkat keahlian dan kemampuan yang memungkinkan tumbunya kinerja yang baik. Kontrol kecakapan termasuk menetapkan tujuan untuk tingkat keahlian dan kemampuan yang harus dimiliki para pegawai, memonitor keahlian dan kemampuan mereka, memberi bimbingan untuk tujuan perbaikan- perbaikan yang dibutuhkan, memberi ganjaran (reward) dan hukuman kepada pegawai atas dasar tingkat keahlian dan kemampuannya (Lawler, 1990 dalam Challagalla dan Shervani, 2006). Peran kepemimpinan dalam setiap organisasi berbeda tergantung pada spesifikasinya. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis organisasi, situasi sosial dalam organisasi dan jumlah anggota kelompok dalam organisasi tersebut. Peran dari manajemen organisasi dapat diidentifikasikan sebagai membangun suatu kebijakan dalam organisasi, membangun dan menyebar tujuan dari kebijakan, menyediakan sumber daya yang ada, menyediakan pelatihan orientasi pada permasalahan dan menstimulasi pengembangan atau kemajuan dari organisasi (Juran dan Gyrna, 1993). Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektifitas dan keberhasilan organisasi (House et. al, 1999) dalam Yukl (2005). Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang memobilisasi sumber daya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya (Burns, 1978) dalam Yukl (2005) Pakar lainya (seperti Bass, 1990; Hickman, 1990; Kotler; Mintzberg 1997; Rost, 1991) dalam Yukl (2005) peran kepemimpinan meliputi memotivasi bawahan dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan, kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan (1) menyusun visi masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan, (2) mengkomunikasikan dan memperjelas visi, dan (3) memotivasi dan memberi inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu, dan kepemimpinan sebagai hubungan pengaruh ke berbagai arah antara pemimpin dan bawahannya yang mempunyai tujuan yang sama dalam mencapai perubahan yang sebenarnya. Dalam penelitian definisi operasional dari kepemimpinan akan tergantung pada seberapa luas tujuan para peneliti (Campbell,1977) dalam Yulk (2000). Tujuannya mungkin untuk mengindentifikasikan pemimpin, untuk menentukan bagaimana mereka dipilih, mengetahui apa yang mereka lakukan, untuk mengetahui mengapa mereka efektif atau menentukan apakah mereka dibutuhkan. Konsekuensinya sangat sulit bila hanya menggunakan satu definisi kepemimpinan yang cukup umum sehingga mampu mengakomodasikan berbagai makna ini dan cukup sepesifik sehingga mampu berfungsi sebagai operasional variabel. Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memperdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja. (Lodge dan Derek, 1993) menyebutkan, peran kepemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Efektivitas pemimpin dipengaruhi karakteristik bawahannya dan terkait dengan proses komunikasi yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat memotivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu. Peran pemimpin adalah mendorong bawahan supaya memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam megantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja. D. Motivasi Morrison (1994) memberikan pengertian motivasi sebagai kecendrungan seseorang melibatkan diri dalam kegiatan yang mengarah sasaran. Jika perilaku tersebut mengarah pada suatu obyek (sasaranya) maka dengan motivasi tersebut akan diperoleh pencapaian target atau sasaran yang sebesar-besarnya sehingga pelaksanaan tugas dapat dikerjakan dengan sebaik-baiknya, sehingga efektivitas kerja dapat dicapai. Menurut Gibson (1997), motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Jadi lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu rangkaian kegitan pemberian dorongan, yaitu bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. Sehingga melalui dorongan ini diharapkan akan dapat bertindak kearah tujuan yang diinginkan. Vroom (1964) dalam Luthan (2005) mengatakan kekuatan motivasi adalah valensi dan harapan. Teori pengharapan berargumentasi bahwa motivasi kerja ditentukan oleh keyakinan individu yang berhubungan dengan, hubungan usaha-kinerja (expectancy = pengharapan), hubungan kerja-hasil (instrumentalitas = perantara), dan persepsi pentingnya berbagai macam hasil pekerjaan (valence = valensi). Motivasi sebagaimana didefinisikan oleh Robbin (2003) merupakan kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu. Dalam definisi ini ada tiga (3) elemen penting yaitu; usaha, tujuan dan kebutuhan. Elemen usaha merupakan pengukuran intensitas. Usaha yang diarahkan menuju dan konsisten dengan tujuan organisasi merupakan jenis usaha yang seharusnya dicari, dan motivasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan. Jae (2000) menunjukan bahwa motivasi pegawai sangat efektif untuk meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai dimana faktor-faktor motivasi tersebut diukur melaui faktor intrinsik (kebutuhan prestasi dan kepentingan) dan faktor ekstrinsik (keamanan kerja, gaji dan promosi). E. Komitmen Organisasi Komitmen organisasi secara umum dapat diartikan sebagai keterikatan pegawai pada organiasasi dimana pegawai tersebut bekerja. Komitmen dibutuhkan oleh organisasi agar sumber daya manusia yang komputen dalam organisasi dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengukur kekuatan pegawai yang berkaitan dengan tujuan dan nilai organisasi (McNesee-Smith, 1996). Porter et al (1974) dalam Robbins (2003) menemukan pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. Desiana dan Soetjipto (2006) Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasai yang menunjukan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya. Porter et al. (dalam Desiana dan Soetjipto, 2006) komitmen organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi dicirikan oleh tiga faktor psikologis: 1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. 2. Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi. 3. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Steers (1977) dalam Robbins (2003) membagi variabel komitmen organisasi dalam tiga katagori yaitu: (1) karakteristik personel dari setiap anggota organisasi yang meliputi umur, pendidikan, jenis kelamin, dan kebutuhan akan pencapaian; (2) karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari beberapa variabel seperti penekanan peran (konflik dan ketidakjelasan peran) serta ( karakteristik tugas dan pengalaman kerja yang meliputi variabel seperti sikap kepemimpinan (inisiatif dari organisasi dan pertimbangan dari pimpinan) serta struktur organisasi (formalisasi dan pertisipasi dalam pengambilan keputusan). Mengingat fokus penelitian ini adalah pada faktor-faktor organisasi maka penelitian ini hanya dibatasi kepada karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan serta pengalaman kerja. Meskipun kedua variabel tersebut diharapkan berkaitan dengan sampel penelitian yang diberikan, pada saat yang bersamaan, sangatlah mungkin bila pekerja yang memegang kepercayaan positif dan cinta kepada organisasi serta tujuan dan nilainya, tetapi tidak suka dengan pelaksanaan aspek-aspek tertentu pada pekerjaan tertentu di organisasi tersebut dan sebaliknya. Komitmen organisasi didasarkan pada perilaku yang terutama berasal dari ketidakleluasaan menggunakan ketrampilan pekerja sehingga meninggalkan organisasi yang mengikatnya. Saat komitmen dicontohkan sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan pengalaman kerja, karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang mempengaruhi kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada level komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja dari pegawai. McNeese-Smith (1996) juga menemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kinerja pegawai. F. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka penyusunan penelitian ini. Kegunaanya untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian yang berkaitan dengan peran kepemimpinan dan kepuasan kerja ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Challagalla dan Shervani, (2006) terhadap 270 pegawai di 5 divisi produk industri dari dua perusahaan fortune 500. temuan-temuan tersebut mengisyaratkan bahwa para pemimpin (manajer) harus secara hati-hati mencocokkan kontrol yang berlaku dengan hasil-hasil yang diinginkan.Secara keseluruhan, hasil-hasil tersebut menunjukan bahwa informasi dan efek penguatan berubah-ubah, yang mengisyaratkan perlunya membedakan antara informasi yang tersedia dan penguatan aktual yang diembankan kepada pegawai. Mereka juga menunjukan bahwa kontrol aktifitas dan kontrol kecakapan memiliki efek yang berbeda-beda dan mengambarkan pembedaan yang tajam antara dua jenis kontrol perilaku. Akhirnya hasil tersebut menunjukan bahwa peran pemimpin (supervisor) berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Jurkeiwick. (2001) tentang perbandingan motivasi antara pegawai (karyawan) sektor publik dan sektor swasta, serta para supervisor sektor publik dan sektor swasta memberikan hasil yang berbeda diantara kedua sektor tersebut. Sampel diambil terhadap 296 pegawai (karyawan) sektor publik, yakni kepolisian, pemadam kebakaran dan bidang administrasi publik. Sedangkan untuk sektor swasta, sampel sejumlah 333 diambil dari perusahaan jasa telekomunikasi dan jasa keuangan, khususnya karyawan yang bekerja pada divisi pemasaran, SDM, akutansi, dan costumer service. Responden diminta untuk merangking 15 faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja karyawan yang mendasarkan pada keinginan karyawan (wants), selanjutnya karyawan diminta untuk merangking 15 faktor yang sama dengan mendasarkan pada yang mereka rasakan saat ini terkait dengan pekerjaan (gets). Hasilnya menunjukan motivasi pegawai (karyawan) berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai (karyawan). Penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2000) juga menemukan bahwa motivasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. McNeese-Smith (1996) menemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Suliman (2002) dalam penelitiannya dengan melakukan kuesioner kepada 1000 karyawan yang dilakukan dengan teknik random sampling dari 20 perusahaan di Timur Tengah menguji pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai (karyawan) dimana komitmen organisasi diukur melalui dua dimensi yaitu komitmen yang timbul secara langsung (affective commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment), hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen yang kuat baik melalui komitmen yang timbul secara langsung (affective Commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment) memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai. Dengan komitmen yang kuat, pegawai akan termotivasi untuk bekerja keras untuk kemajuan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ostroff (2003) terhadap 13.808 pengajar di 298 sekolah menengah pada negara bagian Amerika dan kanada. Hasil penelitinya menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Laschinger, Finegen dan Shamian (2001) juga menemukan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja pegawai. G. Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu Challagalla dan Shervani (2006) dalam penelitian menemukan bahwa peran kepemimpinan dan motivasi berhubungan positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Jurkeiwick (2001) dan Smith et al. (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa motivasi pegawai berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi motivasi pegawai akan berdampak terhadap kepuasan kerja pegawai lebih baik dibandingakan pegawai yang tidak memilki motivasi. McNeese-Smith (1996) menyatakan bahwa komitmen organisasional berhubungan positif dengan kepuasan kerja dan kinerja pegawai pada level kurang dari 1%. Hasil tersebut didukung oleh Suliman (2002) yang menunjukkan hasil bahwa komitmen organisasional pada 20 perusahaan di Timur Tengah mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Selanjutnya Ostroff (2003) dan Laschinger, Finegen dan Shamian (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepuasan kerja berhubungan positif dengan kinerja pegwai. Semakin terpenuhinya dan meningkatnya kepuasan kerja pegawai akan berdampak positif terhadap sikap kinerja pegawai. H. Penentuan Variabel Dependen dan Independen Penentuan untuk variabel dependen dan independen dalam model penelitian ini, terbagi dlam beberapa tahap. Selanjutnya akan ditunjukan seperti berikut ini: Penentuan Variabel Dependen dan Independen. No. Variabel Independen Variabel Dependen 1 Peran Kepemimpinan Kepuasan kerja 2 Motivasi Kepuasan Kerja 3 Komitmen Organisasi Kepuasan kerja 4. Kepuasan kerja Kinerja Pegawai 5. Peran Kepemimpinan Kinerja Pegawai 6. Komitmen Organisasi Kinerja Pegawai I. Definisi Operasional Variabel dan Indikator Definisi operasional variabel, indikator dan atribut yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut ini, secara keseluruhan: Definisi Operasional Variabel dan Indikator Penelitian Variabel Definisi Indikator No Literature Peran Kepemimpinan Pemimpin (manajer) yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan- keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai 1. Energi & keteguhan hati 2. Menentukan tujuan (visi) 3. Menantang dan mendorong 4. Pengambil resiko 5. Memberi inspirasi 6. Membantu pegawai merasa dihargai 1. 2. Challagalla & Shervani (2006) Mansour & Waldman (2003) dalam Fuad Mas’ud (2004) Variabel Definisi Indikator No Literature Motivasi Kesedian untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu 1. Prestasi kerja 2. Pengaruh 3. Pengendalian 4. Ketergantungan 5. Perluasan (pengembangan) 6. Pertalian (afiliasi) 3. 4. 5. Robbins (2003) Jurkeiwick (2001) Udai (1985) dalam Fuad Mas’ud (2004) Komitmen Organisasi Suatu orientasi nilai terhadap organisasi yang menunjukan bahwa individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya 1. Terikat secara emosional 2. Merasakan 3. Kebutuhan & Keinginan 4. Biaya (pengorbanan) 5. Percaya (Setia) 6. Loyalitas 6. 7. 8. McNeese- Smith (1996) Suliman (2002) Allen, Meyer & Smith (2002) dalam Fuad Mas’ud (2004) Kepuasan Kerja Suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang 1. Pekerjaan itu sendiri 2. Gaji/honor 3. Kesempatan promosi 4. Pengawasan 5. Kondisi kerja 6. Rekan kerja 9. 10. 11. 12. Cruch (1995) Locke (1976) Luthan (2005 Celluci & DeVries (1978) dalam Fuad Mas’ud (2004) Kinerja Pegawai Merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pegawai tersebut dalam pekerjaannya menurut kreteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu 1. Kuantitas kerja pegawai 2. Kualitas kerja pegawai 3. Efesiensi kerja pegawai 4. Sikap kerja pegawai 5. Standar kualitas kerja pegawai 6. Kemampuan kerja pegawai 13. 14. McNeese- Smith (1996) Tsui, Pearce & Porter (1997) dalam Fuad Mas’ud (2004) BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Lingkungan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Banda Aceh. Pelaksanaan pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan pembahasan, serta penyusunan laporan dilaksanakan pada tahun 2014. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ex post facto. Menurut Kerlinger metode ex post facto dapat digunakan pada penelitian non eksperimen dimana peneliti tidak melakukan intervensi terhadap variable penelitian karena manifestasi dari variabel tersebut telah muncul atau karena pada hakikatnya variabel tersebut tidak mungkin dapat dimanipulasi. Dalam ex post facto peneliti berupaya untuk mengungkapkan pola interaksi antara variabel-variabel penelitian yang secara teoritis diyakini memiliki relasi. Pada penelitian ini, peneliti menganalisis pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Inferensi tentang relasi antar variabel penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis jalur (path analysis). Menurut Sewall Wright dalam Pedhazur, analisis jalur adalah “a method for studying the direct and indirect effect of variables hypothesized as causes of variables treated as effects”. Analisis jalur dapat dilakukan jika memenuhi asumsi persyaratan analisis seperti : Hubungan antar variabel dalam model linier dan merupakan hubungan sebab akibat. Predictor yang digunakan sebagai variabel bebas harus layak. Kelayakan ini diketahui jika angka Standart Error of Estimate < Standar Deviation. Koefisien regresi harus signifikan. Pengujian dilakukan dengan Uji-T. koefisien regresi signifikan jika T hitung > T Table (nilai kritis). a. Skala pengukuran interval. Tidak terjadi otokorelasi, yaitu terjadinya hubungan timbale balik (reciprocal) antar variabel dan model. Adapun variabel yang dianalisis adalah pengaruh peran kepemimpinan, motivasi, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Unit analisis penelitian ini adalah Lingkungan Dinas Pendidikan Dan Olahraga Kota Banda Aceh. Penelitian ini menggambarkan persepsi/sikap pegawai mengenai peran kepemimpinan, motivasi, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja pegawai.. C. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Dinas Pendidikan Dan Olahraga Kota Banda Aceh yang berjumlah 330 orang yang tersebar dalam beberapa bidang sebagai berikut : b. Sampel Jumlah atau ukuran sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus Slovin yaitu : n = dimana : n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi e = derajat kesalahan (5%) Berdasarkan hasil perhitungan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel penelitian sebesar 157 orang. Selanjutnya teknik pengambilan sampel dilakukan dengan proportional random sampling, sehingga sebaran sampel penelitian dan Selanjutnya setelah jumlah sampel untuk masing-masing bidang diperoleh, sampel diambil dengan cara random. D. Klasifikasi dan Definisi Operasional Variabel a. Klasifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi : Variabel eksogen, yakni variabel yang tidak diprediksi oleh variabel lain dalam model. Variabel eksogen dikenal juga sebagai source variabel atau independent variabel. Dalam penelitian ini variabel eksogen adalah peran kepemimpinan (X1), motivasi (X2), komitmen (X3). Variabel endogen, yakni variabel yang diprediksikan oleh satu atau beberapa variabel yang lain dalam model. Ada dua jenis variabel endogen dalam penelitian ini, yakni : Variabel endogen intervening, yakni variabel yang ikut berpengaruh saat variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Dalam penelitian ini variabel intervening adalah Kepuasan Kerja (X4), dan kinerja (X5). Variabel endogen tergantung (dependent variabel). Dalam penelitian ini variabel endogen tergantung adalah Kinerja (X6). E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumentasi 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei dengan skala penilaian model Likert. Dalam penelitan ini instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket (kuisioner), yaitu daftar pernyataan atau pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya yang akan dijawab oleh responden. Tipe pernyataan dalam kuesioner adalah pernyataan tertutup dimana responden diminta untuk membuat pilihan diantara serangkaian alternatif yang diberikan oleh peneliti. Skala data jawaban responden atas pernyataan penelitian dengan menggunakan Agree-Disagree Scale yang menghasilkan jawaban; 1) sangat setuju,jawaban sangat tidak setuju atau 2) selalu tidak pernah, dalam rentang nilai 1 s/d 5 model likert. Merujuk pada pendapat Kerlinger, skala model likert dalam batasan tertentu dapat menunjukkan rentang data dalam bentuk interval, dimana pilihan jawaban memiliki jarak yang sama. Dengan demikian skala pengukuran dalam penelitian ini memenuhi salah satu syarat analisis jalur. Untuk memaknai rentang skor skala interval, selanjutnya tiap rentang skor diberikan bobot. Merujuk pada pendapat Riduan, dalam penelitian ini pembobotan skor dilakukan sebagai berikut: Angka 0% - 20% = Sangat lemah, diberi skor 1 Angka 21% - 40% = Lemah, diberi skor 2 Angka 41% - 60% = cukup kuat, diberi skor 3 Angka 61% - 80% = Kuat, diberi skor 4 Angka 81% - 100% = Sangat Kuat, diberi skor Selanjutnya, cara memberi nilai pada jawaban responden dalam angket ini mengikuti aturan sebagai berikut: Tabel 3.3. Cara Pemberian Nilai Responden Pernyataan SS/SL S/SR R/KD TS/JR STS/TP Positif 5 4 3 2 1 Negatif 1 2 3 4 5 Dengan demikian skor total nilai angket dari setiap responden akan berkisar antara skor terendah yakni jumlah item pertanyaan/pernyataan dikalikan 1 (satu) sampai dengan skor tertinggi yakni jumlah item pertanyaan/pernyataan dikalikan 5 (lima). 2. Instrumentasi a. Pengembangan Instrumen Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Menurut Djaali dan Muljono, dalam mengembangkan instrumen penelitian ada beberapa tahapan yang harus ditempuh peneliti untuk menghasilkan instrumen yang baik. Tahapan-tahapan tersebut yaitu; 1) mensintesis teori-teori yang dikaji tentang suatu konsep dari variabel yang akan diukur dan merumuskan konstruk dari variabel tersebut, 2) berdasarkan konstruk dikembangkan dimensi dan indikator variabel yang akan diukur, 3) membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel spesifikasi yang memuat dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan indikator, 4) menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam rentangan kontinum dan 5) menuliskan butir-butir instrumen dalam pertanyaan atau pernyataan. Adapun kisi-kisi instrument penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Kisi-kisi instrumen Peran Kepemimpinan b) Kisi-kisi instrumen Motivasi c) Kisi-kisi instrumen Komitmen Organisasi d) Kisi-kisi instrumen KepuasanKerja e) Kisi-kisi instrumen Kinerja b. Uji Coba Instrumen Sebelum instrumen digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu instrumen yang telah dikembangkan diuji coba. Uji coba instrumen dilakukan pada responden yang tidak termasuk dalam sampel penelitan tetapi memiliki karakteristik yang sama. Merujuk pada pendapat Sugiyono, bahwa ukuran sampel untuk keperluan uji coba instrumen minimal 30 sampel, maka jumlah sampel uji coba instrumen dalam penelitian ini adalah 45 orang dosen. Uji coba instrumen dimaksudkan untuk mengetahui validitas dan keandalan (reliabilitas) instrumen dalam mengukur variabel penelitian. Data yang diperoleh melalui instrumen yang valid dan reliabel menentukan tingkat keandalan data. a). Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu instrumen atau alat pengumpul data dalam mengungkap sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan. Suatu instrumen dikatakan valid, bila instrument tersebut mampu mengukur apa saja yang harus diukur. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas konstruk (contruct validity) dan validitas butir pernyataan (internal validity). Validitas konstruks menunjukkan derajat suatu instrumen dapat mengukur suatu konstruks teoritis atau hypotetical constructs. Instrumen penelitian dikontruksi berlandaskan pada kerangka teoritis melalui tahapan-tahapan pengembangan instrumen yang meliputi rumusan definisi konseptual, definisi operasional, dan merumuskan indikator. Pengujian validitas konstruk dilakukan berdasarkan hasil konsultasi dengan Validitas butir pernyataan menunjukkan sejauh mana relasi antara skor setiap butir pernyataan dengan skor totalnya. Untuk menguji validitas butir pernyataan digunakan teknik korelasi product moment. Koefisien-korelasi yang diperoleh (rhitung) selanjutnya dibandingkan dengan nilai r tabel pada tingkat kepercayaan 95%, dan dB = 2. Jika (rhitung) lebih besar dari rtabei maka butir pernyataan tersebut dinyatakan valid. d) Uji Reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan untuk memastikan bahwa instrumen peneltian yang digunakan handal atau konsisten dalam mengukur apa yang akan diukur. Instrumen yang digunakan dalam uji reliabilitas adalah instrumen yang sudah valid. Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan rumus Cronbach alpha: α = Keterangan: α = koefisien reliabilitas k = banyaknya butir pernyataan yang valid St2= varians skor total Si2 = varians skor butir F. Teknik Analisis Data Penelitian ini bertujuan menguji dan menganalisis hubungan kausal antara variabel eksogen dan endogen baik endogen intervening maupun endogen tergantung. Analisis data dilakukan dua tahap yaitu analisis deskriptif dan analisis inferensi. a. Deskripsi Data Penelitian Analisis deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran data secara natural serta karakteristik penyebaran data baik dengan melihat kecenderungan data maupun penyebaran data. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan bantuan program MS Excell. b. Analisis Inferensial Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis inferensial. Analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian dan kemudian melakukan interpretasi terhadap hasil pengujian. Analisis inferensial dilakukan dengan menggunakan teknik analisis jalur (path analisys). Analisis jalur merupakan teknik analisis hasil pengembangan dari analisis regresi, dimana dalam analisis jalur akan dihitung direct effect maupun indirect effect dari setiap variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endo gen). Sebelum analisis jalur dilakukan, terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi atau uji persyaratan analisis. Menurut Pedhazur, ada lima asumsi yang harus dipenuhi untuk dapat melalukan analisis jalur yaitu : 1) korelasi antar variabel dalam model adalah linier (Uji Linieritas), 2) variabel residu tidak berkorelasi dengan variabel yang diteliti dan antar variabel residu tidak saling berkorelasi (uji Autokorelasi), 3) Hubungan antar variabel dalam model adalah hubungan kausal/rekursif (uji multikolinieritas), 4) variabel berskala interval dan 5) variabel yang diukur tanpa error (dapat diukur). Karena analisis jalur termasuk dalam analisis regresi, maka perlu juga dilakukan uji normalitas. a. Uji Persyaratan Analisis 1) Uji Normalitas Uji Normalitas data dimaksudkan untuk melihat apakah data sampel berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Kriteria pengujian, jika Lhiwng > Linhel pada taraf siginifikansi 95% maka Ho ditolak atau dengan membandingkan nilai p (sig) yang diperoleh dengan taraf signifikansi (a) tertentu misalkan 5% (0,05). Jika nilai sig > 0,05 maka artinya sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS. 1) Uji Linieritas Uji Linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh terletak pada suatu garis lurus. Pengujian Linieritas data dilakukan dengan menggunakan uji F.Kriteria pengujian: Jika Fhitung < Ftabel pada taraf signifikansi 95% dan dk = v1,v2 maka Ho ditolak atau dengan membandingkan nilai sig dengan taraf signifikansi (a) 0,05. Jika nilai sig < 0,05 maka model regresi linier sedangkan jika sig > 0,05 maka model regresi tidak linier. 2) Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW test)21. Kriteria pengujian adalah: 1. Jika nilai DW berada diantara du sampai 4 – du maka koefisien autokorelasi sama dengan 0; artinya tidak ada autokorelasi. 2. Jika nilai DW lebib kecil dari dL, koefisien aurokorelasi lebih besar dari 0; maka terjadi autokorelasi positif. 3. Jika nilai DW terletak diantara dL dan du maka tidak dapat disimpulkan 4. Jika nilai DW lebib besar dari dL, koefisien aurokorelasi lebih kecil dari 0; maka terjadi autokorelasi negatif. 5. Jika nilai DW terletak diantara 4-du dan 4-4 maka tidak dapat disimpulkan. 3) Uji Multikolinieritas Pengujian persyaratan analisis multikolinieritas dilakukan untuk memastikan tidak ada pengaruh timbal balik antar variabel yang diobservasi. Uji multikolinieritas dilakukan dengan uji VIF, dengan kriteria jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka terjadi multikolinieritas. 4) Variabel berskala Interval Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan menggunakan angket dengan skala pengukuran Likert. Skala pengukuran likert menghasilkan data yang dapat dikategorikan interval atau mendekati interval. 5) Variabel Dapat diukur Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan di atas, semua variabel penelitian adalah variabel yang dapat diukur (observed). b. Uji Hipotesis Pengujian Hipotesis dalam analisis jalur adalah pengujian terhadap koefisien jalur secara individual. Pengujian hipotesis dalam analisis jalur dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Merumuskan persamaan dan diagram jalur (Model Specification) 2. Menghitung koefisien korelasi antar variabel (Model identification) 3. Menghitung koefisien jalur (Model Estimation) 4. Menguji Koefisien Jalur (Model Testing) 5. Memodifikasi Model (Model Modification) Hipotesis statistik untuk penelitian ini sebagai berikut: 1. Hipotesis statistik 1 Ho: p41 = 0 HI: p41 > 0 2. Hipotesis statistik 2 Ho: p42 = 0 Hi: p42 > 0 3. Hipotesis statistik 3 Ho: p43 = 0 HI: p43 > 0 4. Hipotesis statistik 4 Ho: p51 = 0 HI: p51 > 0 5. Hipotesis statistik 5 Ho: p52 = 0 HI: p52 > 0 6. Hipotesis statistik 6 Ho: p53 = 0 HI: p53 > 0 7. Hipotesis statistik 7 Ho: p64 = 0 Hi: p64 > 0 8. Hipotesis statistik 8 Ho: p65 = 0 HI: p65 > 0 DAFTAR PUSTAKA Allen, N.J. & Meyer, J.P, 1990, ”The Measurement and Antecedents of Aaffective, Continuance and Normative Commitment to The Organization”, Journal of Occupational Psychology, Vol. 63, p. 1-18 Allen, N.J. & Meyer, J.P, 1990, ”A Theree- Component Conceptualization of Organizational Commitment”, Human Resource Management Review, Vol.1, p. 61-89 Allen, N.J., Meyer, J.P, & Smith, C.A, “Commitment to Organizations and Occupations: Extension and Test of a Three-Component Conceptualization”, Journal of Applied Psychology, Vol.78, No.4, p.538-351 Allison, M & Hartley, J, 2000, “The Role Of Leadership of in the Moderenisasi and Improfment of Public Service”, Public Money And Management, April-June Augusty Ferdinand, 2006, Structural Equation Modeling Dalam PenelitianManajemen, BP. Undip, Semarang Bititci, U. S & Tunner, Trevor, 2000, “Dynamics of Performance Measurement Systems”, International Journal of Operation and Production Management, Vol. 20, No.6, p.692-704 Burke, W.W & Litwin, G.H, 1992, “A Causal Model of Organizational Performance and Change”,Journal of Management, Vol. 18, p. 523-545 Celluci, J. Anthony & DeVeries L. David, 1978, “Measuring Managerial Satisfaction: A Manual for the MJSQ Tehnical Report II”, Center for Creative Leadership Challagalla, N. Goutham & Shervani, A. Tasadduq, 2006, ”Dimensional and type of Supervisory Control: Effect on Sallesperson Performance and Satisfaction”, Journal of Marketing, Vol. 60. January Church, Allan. H, 1995, “Managerial Behavior and Work Group Climmate as Predictor of Employee Outcomes”, Human Business Development Quarterly, Vol: 6, p. 173-205 Cooper, D. R. & Emory, C. W, 1995, Business Research Methods, Fifth Edition, USA, Richard. Irwin, Inc Davis, K & John, W.Newstrom,1996, Perilaku dalam Organisasi, Jilid I, Erlangga, Jakarta Desiana, P.M & Sotipto, B.W, 2006, Pengaruh Role Stressor dan Persepsi Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support) terhadap Kepusan Kerja dan Komitmen: Studi Kasus asisten Dosen FEUI, Usahawan No. 05 Tahun XXXV Fuad Mas’ud, 2004, Survei Diagnosis Organisasional, Badan Penerbit-Undip Greenberg, J. & Baron, R. A, 1995, Behavior in Organization: Understanding and Managing the Human Side of Work, 5 Ed. Prentice Hall International Editions. Gujarati, D, 2003, Basic Econometrics, Fourth Edition, Singapura : McCraw-Hill Gibson, I & Donnelly, 1997, Organizations, Behavior, Structure, Processes, 9 Ed.Richard D. Irwin Inc. Gunz, H.P & Gunz, S.P, 1994, “Professional/Organizacional Commitment and Job Satisfaction for Employed Lawyer”, Human Relations, Vol. 47, p. 801-807 Hair, J. Anderson, R.,Tathan, R., & Black, W, 1995, Multivarate Date Analysis, 5th Edition, Uper Sadle River. New Jersey. Prentice hall. Heffes, E. M, 2006, “Leadership’s Role In Shaping and Sustaining FEI”, Financial Executive, May House, R. J & Shamir, B, 1993, “Toward an Integration of Transformational, Charismatic and Visionary Theories of Leadership, Leadership Perspectives and Research Directions: p.81-107. New York: Academic Press Jae, Moon M, 2000, “Morganizational Commitment Revisited in Public Management”, Public Performance & Management Review, Vol. 24, No. 2 Juran B, Daniel & Gyrna, L, Thomas, 1993, ”Organizational Attractiveness, An Interactionist Perspective”, Journal of applied Psychology, Vol. 78, p. 184-193 Jurkeiwicz, Massey, 2001, “Motivation in Public and Private Organization: A Comparative Study”, Public Productivity and Management Review, Vol. 21, No. 3, March

Sabtu, 20 Oktober 2012



PERBANDINGAN ILMU SOSIAL DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
 DITINJUAN DARI FILSAFAT ILMU


DOSEN PENGASUH
Prof. Dr. Albinus Silalahi, MS





Disusun oleh:

MUSRIADI
MUNADI
MUHKLISUDDIN





PROGRAM DOCTOR
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat berasal dari bahasaYunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.atau berarti. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmupengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah duakata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponenter besar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hafalansaja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan,memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup.
Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi dibencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budakilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh orang lain yang melihat kita. Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan tuntas, dan pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita
Direktur Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar filsafat memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer, mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya.  Telah 300 tahun ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan kemanusiaan.   Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Kebudayaan adalah aktivitas khas manusia yang berkembang seiring kemajuan daya pikir suatu masyarakat. Meski tidak tepat untuk menggolongkan budaya manusia dengan klasifikasi budaya primitif dan budaya maju, namun proses perkembangan kebudayaan terus berjalan seiring dinamisasi kehidupan manusia. Filsafat kebudayaan menjadi penting, karena memberikan penunjuk arah kemana manusia seharus berkembang dengan menyelidiki sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan kemana tujuan akhir hidupnya. Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia berkorelasi dengan proses saling mempengaruhi di bidang kebudayaan. Pada makalah kali ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang hubungan antara ilmu, teknologi, etika, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
1.      Ilmu
Pengertian kata “ilmu” secara bahasa adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007). Ciri-ciri utama ilmu secara terminologi adalah:
1.      Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
2.      Koherensi sistematik ilmu.
3.      Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4.      Bersifat objektif.
5.      Adanya metodologi.
6.      Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.

2.   Teknologi
Pada umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani: techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah teknologi, yang berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia.
Tetapi pemahaman seperti itu baru memperlihatkan satu segi saja dari kandungan kata “teknologi”. Teknologi sebenarnya lebih dari sekedar penciptaan barang, benda atau alat dari manusia selaku homo technicus atau homo faber. Teknologi bahkan telah menjadi suatu sistem atau struktur dalam eksistensi manusia di dalam dunia. Teknologi bukan lagi sekedar sebagai suatu hasil dari daya cipta yang ada dalam kemampuan dan keunggulan manusia, tetapi ia bahkan telah menjadi suatu “daya pencipta” yang berdiri di luar kemampuan manusia, yang pada gilirannya kemudian membentuk dan menciptakan suatu komunitas manusia yang lain.
Awalnya teknologi dapat dipahami sebagai hasil buatan manusia, tetapi kini teknologi juga harus dipahami sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan suatu kemanusiaan tertentu. Teknologi bukan lagi sebagai “barang”, tetapi telah menjadi semacam “ke-barang-an yang mampu melahirkan sejumlah cara hidup, pola hidup, dan karakter hidup dari manusia, yang dulu menciptakannya. Demikianlah teknologi tidak hadir lagi secara fisik-inderawi dalam barang atau benda atau alat, melainkan telah hadir dalam bentuk sebagai suatu “roh” zaman, sistem sosial dan struktur masyarakat manusia dalam suatu komunitas. Meminjam istilah Mangunwijaya, maka teknologi telah menjadi “tuan” yang memperbudak, “raja’ yang otonom dan totaliter, bahkan “dewa” yang menuntut pengorbanan dari manusia.
Dalam pemahaman seperti itu, maka teknologi jangan dianggap sebagai suatu pokok yang enteng atau gampangan, melainkan ia harus dipandang sebagai suatu pokok yang serius dan bahkan harus mengundang suatu kreativitas pengkajian yang lebih cermat, dalam dan kritis, baik secara filosofis maupun teologis. Dalam arti bahwa teknologi juga adalah persoalannya manusia dan dunia ini.
Dengan orientasi pemahaman seperti itu,  kita juga dapat mengerti bahwa teknologi sebenarnya bukanlah suatu pokok atau tema yang parsial
sifatnya, melainkan adalah sesuatu yang total dan menyeluruh. Dapat dikatakan
bahwa teknologi sesungguhnya adalah tema atau pokok yang universal dan
global. Pemahaman atau pemaknaan terhadapnya tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pendekatan-pendekatan lokal tradisional sebagai yang adi-luhung, suci dan bersih, lalu memandang teknologi sebagai sesuatu yang dari luar (keBarat-Baratan), kotor dan jahat, melainkan memerlukan suatu pendekatan yang melibatkan seluruh bangsa dan masyarakat untuk berbicara bersama. Pendekatan seperti ini adalah begitu penting, mengingat bahwa teknologi selain mempunyai manfaatnya bagi manusia, ia juga punya dampak-dampak yang merugikan keberadaan manusia. Dan baik manfaat dan maupun kerugian itu, juga bukan hanya menjadi bagiannya masyarakat kemana teknologi itu dimanfaatkan, tetapi juga dialami oleh masyarakat dimana teknologi itu dimulai (dihasilkan atau di’cipta’kan). Jadi sesungguhnya, teknologi itu adalah tema-nya dan pokok-nya masyarakat global (Mangunwijaya, 1999).
Beberapa pengertian teknologi telah diberikan atara lain oleh David L. Goetch yaitu “people tools, resources, to solve problems or to extend their capabilities“. Sehingga teknologi dapat dipahami sebagai "upaya" untuk mendapatkan suatu "produk" yang dilakukan oleh manusta dengan memanfaatkan peralatan (tools), proses, dan sumberdaya (resources).
Pengertian yang lain diberikan oleh Arnold Pacey yang berbunyi "The application os scientific and other knowledge to practical task by ordered systems,  that involve people and organizations, living things and machines". Dari definisi ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi, tidak bebas budaya dan sosial, ekonomi dan politik.
Definisi teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk adalah  "Technology is a "set of means" created by people to facilitate human endeavor". Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu:
1.      Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berakhir, keberadaan teknotogi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
2.      Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artifisial
3.      Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of means), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudut pandang analisis
4.      Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi ikhtiar manusia (human endeavor). Sehingga teknologi harus mampu meningkatkan performa (kinerja) kemampuan manusia.
Dari definisi di atas, ada 3 entitas yang terkandung dalam teknologi yaitu: ketrampilan (skill), logika berpikir (Algorithnia), dan perangkat keras (hardware). Dalam pandangan Management of Technology, Teknologi dapat digambarkan dalam beragam cara yaitu sebagai berikut:
1.      Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud di dalamnya terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk mengubah (mengkonversikan) sumberdaya (resources) ke suatu produk atau jasa.
2.      Teknologi tidak ubahriya sebagai pengetahuan, sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
3.      Technologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan atau proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.

  1. Etika
Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bahasa Latin, etika disebut dengan moral (Mos/Mores) yang memiliki pengertian adat kebiasaan atau kesusilaan.
           
  1. Kebudayaan
Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pendapat lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budidaya, yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Dengan demikian budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. (Kontjoroningrat, 1986). Adapun istilah dari bahasa Latin yaitu colere, yang berarti "mengolah, mengerjakan", terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang istilah culture (bahasa Inggris), sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.
Defini kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara berbuat. Dengan demikian definisi itu dapat dipersingkat sebagai berikut: cara berlaku atau berbuat dalam kehidupan, atau dapat disingkat lagi menjadi “cara hidup” (Inggris: way of life). Jadi kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. Segi kehidupan yang dimaksud identik dengan apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan cultural universal atau pola kebudayaan sejagat, yaitu segi-segi kebudayaan yang universal ditemukan dalam tiap kebudayaan. Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin hubungan dan pengaruh yang sangat dekat. Masyarakat adalah wadah kebudayaan dan kebudayaan membentuk masyarakat. Masyarakat ialah kelompok besar manusia, dimana hidup terkandung kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaan mereka. Ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang, dan waktu berbeda pula kebudayaannya.

  1. Krisis kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama menuju keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah ditinggalkan, tetapi metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga yang terjadi adalah kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang memadai.  Krisis kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.

B.     Hubungan antara Ilmu dan Teknologi
Kekhususan ilmu dibandingkan pengetahuan terletak pada kemampuan manusia untuk menyadari pengetahuan yang diperolehnya secara spontan dan langsung itu serta membuatnya teratur dalam suatu sistem, sehingga bila orang lain menanyakan, ia bisa menerangkan dan mempertanggungjawabkan. Dengan perkataan lain, pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dikumpulkan, lalu diatur dan disusun sehingga masuk akal dan bisa dimengerti orang lain.
Proses sistematisasi pengetahuan menjadi ilmu biasanya melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1.      Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin.
2.      Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji
3.      Menarik kesimpulan logis dari pengandaian-pengandaian.
4.      Merancang teknik men-tes pengandaian-pengandaian.
5.      Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat diandalkan.
6.      Tes itu sendiri dilaksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan.
7.      Menilai tuntutan kebenaran yang diajukan oleh pengandaian-pengandaian itu serta menilai kekuatan teknik tadi.
8.      Menetapkan luas bidang berlakunya pengandaian-pengandaian serta teknik dan merumuskan pertanyaan baru.

Ilmu adalah sistematisasi, metodis dan logis. Pengetahuan disistematisasikan menjadi ilmu bisa lewata induksi dan deduksi. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Penelitian memegang peranan dalam:
Ø  Membantu manusia memperoleh pengetahuan baru.
Ø  Memperoleh jawaban suatu pertanyaan.
Ø  Memberikan pemecahan atas suatu masalah.

Fungsi penelitian adalah membantu manusia meningkatkan kemampuannya untuk menginterpreatasikan fenomena-fenomena masyarakat yang kompleks dan kait-mengait sehingga fenomen itu mampu membantu memenuhi hasrat ingin manusia. Ciri berpikir ilmiah adalah skeptik, analitik, kritis. Ilmu pengetahuan mendorong teknologi, teknologi mendorong penelitian, penelitian menghasilkan ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan baru mendorong teknologi baru. (Sutarjo, 1983)

C.    Hubungan antara Ilmu dengan Etika
Pada sub-bagian ini kita akan membahas manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dari Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya, dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia dalam menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut, kebaikan yang diperoleh manusia adalah nihil. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Soewardi, 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan yang pelaksananya (eksekutor) tidak ditunjuk. Eksekutor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadapan pada opsi baik atau buruk, dimana yang baik itulah yang menjadi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.


D.    Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia, yang meliputi hasil akal, rasa, dan kehendak manusia. Oleh karena itu maka  kebudayaan tidak pernah berhenti, terus berlangsung sepanjang jaman, merupakan suatu  proses yang  memerlukan waktu yang panjang untuk memenuhi keinginan manusia untuk lebih berkualiatas.
Apabila kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka ilmu sebagai hasil akal pikir manusia juga merupakan kebudayaan. Namun ilmu dapat dikatakan sebagai hasil akhir dalam perkembangan mental manusia dan dapat dianggap sebagai hasil yang paling optimal dalam kebudayaan manusia.
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas dari pada sekedar penjumlahan unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu dikenal adanya unsur-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal. Menurut C. Kluckhohn ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencarian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian. (Widyosiswoyo, 1996).
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan.Untuk mendapatkan ilmu diperlukan  cara-cara tertentu, memerlukan suatu metode dan mempergunakan sistem, mempunyai  obyek formal dan obyek material. Karena pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan, maka ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan dengan sendiriya juga merupakan salah satu unsur kebudayaan (Daruni, 1991).
Selain ilmu merupakan unsur dari kebudayaan, antara ilmu dan kebudayaan ada hubungan pengaruh timbal-balik. Perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangkan  perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan saling mendukung. Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat  berkembang dengan subur. Disini ilmu mempunyai  peran ganda yakni:
1.      Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung  pengembangan  kebudayaan.
2.      Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak bangsa

E.     Hubungan antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan landasan ontologis ilmu; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang  kedua adalah Epistimologi ilmu  atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula  yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.

F.     Hubungan antara Teknologi dengan Etika
Secara umum, etika menuntut kejujuran dan dalam iptek ini berarti kejujuran ilmiah (scientific honesty). Mengubah, menambah, dan mengurangi data demi kepentingan tertentu termasuk dalam ketidakjujuran ilmiah. Mengubah dan menambah data dengan rekaan sendiri dapat dimaksudkan agar kurvanya memperlihatkan kecenderungan yang diinginkan. Mungkin penelitinya sendiri yang menginginkan agar hasil penelitiannya sesuai dengan teori yang sudah mapan. Mungkin penaja (sponsor) peneliti itu yang ingin menonjolkan citra produk industrinya. Mereka-reka data semacam itu merupakan the sin of commission. Sebaliknya membuang sebagian data yang “memperburuk” hasil penelitian adalah the sin commission. Penghapusan data yagn “jelek” itu mungkin dimaksudkan oleh penelitinya agar analisis datanya memperlihatkan keterandalan (realibility) yang lebih baik. Lebih jahat lagi kalau dosa komisi itu dilakukan untuk menyembunyikan efek samping yang negatif dari produk yang diteliti. Ketidakjujuran ilmiah semacam ini pernah dilakukan peneliti yang ditaja pabrik penyedap rasa (monosodium glutamate) di Thailand.
Kalau data yang dibuang itu dinilai sebagai penyimpangan dari kelompok yang sedang diteliti, dan karenanya harus ikut diolah, kejujuran ilmiah menuntut penjelasan tentang penghapusannya. Perlu juga disebutkan patokan yang dipakai untuk menentukan ambang nilai data yang harus ikut dianalisis, misalnya patokan Chauvenet.
Sekarang umat manusia menghadapi masalah-masalah yang sangat serius, yang menyangkut teknologi dan dampaknya pada lingkungan. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang etika:
a.       Norma-norma etika (dan agama) yang seperti apakah yang harus kita patuhi dalam penelitian di bidang bioteknologi, fisika nuklir dan zarah keunsuran, serta astronomi dan astrofisika?
b.      Dalam penelitian kedokteran dan genetika, apakah arti kehidupan?
c.       Dalam penelitian dampak teknologi terhadap lingkungan, bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik yang nirnyawa (the inanimate world) maupun yang bernyawa.
d.      Apakah masyarakat yang baik itu, dan dapatkah dikembangkan pengertian yang universal tentang kebaikan bersama yang melampaui individualisme, nasionalisme, dan bahkan antroposentrisme?

Dalam bioteknologi (termasuk rekayasa genetika) dan kedokteran, pertanyaan tentang arti, mulai dan berakhirnya kehidupan sangat penad (relevant). Apakah orang yang berada dalam keadaan koma dan fungsi faal serta metabolismenya harus dipertahankan dengan alat-alat kedokteran elektronik dalam jangka panjang yang tidak tertentu masih mempunyai kehidupan yang berarti ? Tak bolehkah ia minta (misalnya sebelum terlelap dalam keadaan seperti itu), atau diberi, euthanasia berdasarkan informed consent dari keluarganya yang paling dekat? Ini mengacu ke arti dan berakhirnya kehidupan. Mulainya kehidupan, penting untuk diketahui atau ditetapkan (dengan pertimbangan ilmu dan agama) untuk menentukan etis dan tidaknya menstrual regulation (“MR”) dan aborsi, terutama dalam hal indikasi medis dari risiko bagi ovum yang telah dibuahi dan terlebih-lebih lagi bagi ibunya, kurang meyakinkan.
Bioteknologi/rekayasa genetika mungkin hanya boleh dianggap etis jika tingkat kegagalannya yang mematikan embrio relative rendah dan – bila menyangkut manusia – hanya mengarah ke eugenika negatif. Tanaman dan organisme harus disikapi dengan hati-hati, baik dari segi perkembangan jangka panjangnya yang secara antropo sentries mungkin membahayakan kehidupan kita, maupun dari segi pengaturannya dalam tata hukum dan ekonomi internasional yang biasanya lebih menguntungkan negara-negara maju. Etiskah untuk mematenkan organisme dan tanaman yang telah diubah secara genetic (genetically modified)? Adilkah itu dan apakah itu tidak mengancam kelestarian plasma nutfah? Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan agihan (distributive justice). Pengagihannya bukan hanya secara spatial, tetapi juga secara temporal. Dimensi spatiotemporal dari keadilan distributive ini tersirat dalam pengertian tentang “pembangunan yang terlanjutkan” (sustainable development) menurut Gro Harlem Brundtland.

G.    Hubungan antara Teknologi dengan Kebudayaan
Teknologi merupakan penerapan ilmu yang merupakan hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar diri. Kebudayaan merupakan keseluruhan komplek kepercayaan, seni, hukum, moral, kemauan, dan  kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia.
Sesuai perkembangan zaman dan kemajuan ilmu, teknologi yang dihasilkan pun semakin modern dan canggih. Pada dasarnya teknologi yang dihasilkan oleh umat manusia bertujuan untuk membuat hidup manusia lebih praktis dan efisien. Namun, perkembangan teknologi yang ada pada kenyataannya telah banyak mengubah berbagai sendi kehidupan manusia.
Salah satu bidang kehidupan manusia yang telah berubah seiring perkembangan teknologi adalah kebudayaan manusia. Teknologi yang berkembang menyebabkan berubahnya pola interaksi manusia dari interaksi yang sederhana menjadi interaksi yang semakin canggih.

H.    Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b.      Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c.       Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d.      Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e.       Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f.       Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g.      Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

Teknologi yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :
·         Teknik meliputi bidang ekonomi.
·         Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen, hokum, dan militer.
·         Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.

Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2.      Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam. Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3.      Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
4.      Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.

Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.

I.       Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan

Meta-ethical cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan  “All moral principles derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.  



J.      Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan  yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan". Egosime kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan  bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia beragama.
Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
·         Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
·         Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan persaingan yang tidak terhindarkan.
·         Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".

K.    Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
 Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia, yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai. 
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan.  Peralihan kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas, film porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.

L.     Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya memfungsikan sisi hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu pengetahuan diarahkan untuk hal-hal destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Pada zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat. Aliran ini memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama, individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa yang kita jalani.
Apabila etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami perubahan, maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga mungkin terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju tersebut selain akan mendorong ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya, juga akan meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat memaksa, merajalela, bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada tidak manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
  1. Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
  2. Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
  3. Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat à disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’ dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.

M.   Perbandingan Ilmu Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam  
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang  telah mengalami perkembangan yang sangat pesat ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu –ilmu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam artian sesungguhnya. Di pihak lain terdapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat di sangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. Walaupun begitu mereka beranggapan bahwa penelitian-penelitian dibidang ini akan mencapai derajat keilmuan yang sama seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Terdapat beberapa kesulitan untuk merealisasikan tujuan ini karena beberapa sifat dari objek yang diteliti ilmu-ilmu sosial. Seperti diketahui ilmu-ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia. Karangan di bawah ini akan mencoba menjelaskan beberapa azas yang melandasai tingkah laku tersebut yang menyebabkan ahli-ahli ilmu sosial mendapatkan kesulitan untuk menerapkan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala sosial.
a.      Obyek Penelaahan Yang Kompleks
Gejala sosial adalah lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alami. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga mempunyai karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Untuk menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam atau ilmu hayat adalah tidak cukup. Jika seorang guru menghukum anak didiknya dengan jalan merotan maka hukum-hukum ilmu kimia, ilmu alam, dan ilmu fisiologi akan mampu menerangkan sebagaian dari kejadian tersebut. Akan tetapi hal yang lebih asasi tidak terjangkau oleh penjelasan tersebut. Menagapa guru tersebut menghukum anak didiknya? Bagaimana perasaan anak tadi terhadap hukumannya? Apakah reaksi orang tua  murid dan staf pengajar lainnya terhadap perlakuan ini?
Ahli ilmu akan berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum penelahaanya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia baik selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif  banyak yang kadang-kadang membingungkan sipeneliti.
Jika seorang ahli ilmu alam mempelajari suatu eksplosi kimiawi maka hanya beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Jika seorang ahli ilmu sosial mempelajari suatu eksplosi sosial yang berupa huruhara atau kejahatan makan terdapat faktor yang banyak sekali dimana terdapat diantaranya faktor-faktor yang tidak bersifat fisik: senjata yang digunakan, kekuatan dan arah tusukan, dan urat darah yang tersayat, sipembunuh yang meluap-luap, dendam kesumat pertikaian faktor biologis, keturunan, tekanan dari kalangan masayrakat, kurangnya perlindungan keamanan, malam yang panas dan memberonsan, pertikaian dengan orang tua, kemiskinan, dan masalah ketgangan rasial.
Sejumlah penjelasan yang bersifat fisik bisa diketengahkan untuk suatu kejahatan atua gelaja sosial lainnya.walaupun begitu,gejala sosial tidak hanya mencakup faktor-faktor fisik saja melainkan mencakup aspek-aspek sosiologis, psikologis atau biologis, atau kombinasi dari aspek-aspek ini. Gejala tersebut dapat diterangkan lewat berbagai pola pendekatan umpanya perkembangan, waktu, tipe, tempat, kegiatan, motifasi, atau kecendrungan. Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan fariabel-fariabel apa saj yang termasuk.

b.      Kesukaran Dalam Pengamatan
Pengamatan lansung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium, atau mengecap gejala yang terjadi dimasa lalu. Seorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu kala tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut. Seorang ahli ilmu kimia atau ahli ilmu fisika yang bisa mengulang kejadian yang sama tiap waktu dan mengamati suatu kejadian tetentu secara langsung. Hal ini berlaian sekali dengan ahli ilmu jiwa yang tak mungkin mencampurkan ramuan-ramuan kedalam tabung reaksi untuk bisa merekontruksi masa kanak-kanak seorang manusia dewasa. Hakiki dari gejala-gejala ilmu sosial tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang.
Ahli ilmu sosial mungkin bisa mengamati beberapa gejala sosial secara langsung walaupun begitu terdapat beberapa kesulitan untuk melakukan hal tersebut secara keseluruhan. Didalam laboratorium dimana diteliti tingkah laku anak-anak yang sedang belajar mungkin saja sipeneliti mengamati kapan si A memukul si B atau hal-hal lain seperti berapa kalaimat mampu dibaca seorang anak dalam waktu satu menit dan daya pendengaran anak tersebut. Namun beberapa faktor sosial seperti keseukaan, motivasi dan impian merupakan suatu yang bersifat pribadi yang tertutup yang tak terjamah oleh pengamatan umum. Dalam hal ini sipeneliti bisa melakukan dua pilihan: apakah dia akan menginterprestasikan hal-hal yang tertutup tadi berdasarkan pengalamannya pribadi, suatu hal yang sangat mungkin untuk membuat kekeliruan; ataukah dia mendasarkan pada pengakuan anak-anak tersebut yang muga tidak terlepas dari kemungkinan tidak benar.
Gejala sosial lebih bervariasi di bandingkan dengan gejala fisik . pada umumnya pengamatan tiap cc dari sejumlah volum asam sulvat menghasilkan kesimpulan yang tidak berbeda mengenai mutu asam tersebut pengamatan terhadap 30 orang anak kelas 1 sekolah menegah pertama dikota tertentu akan lain sekali kesimpulannya dengan pengamatan terhadap jumlah murid yang sekolah yang sama di kota lain umpamanya ditinjau dari segi umur anak –anak tersebut.tinggi tubuh, tinggi badan, jumlah khasanah kata-kata yang dikuasai, partisipasi dalam permainan dan kemampuan berhitung dari seorang anak umur sepuluh tahun akan bervariasi sekali dari anak yang satu ke anak yang lain yang sebaya. Di dalam situasi tertentu seorang ahli ilmu sosial akan memperlakukan setiap individu secara sama rata umpamanya dalam tabulasi waktu lahir mereka. Akan tetapi karena variasi yang nyata dari hakiki manusia maka pengambilan kesimpulan secara umum dari pengambilan contoh (Sample) dalam ilmu-ilmu sosial kadang-kadang adalah berbahaya.
c.       Obyek Penelaahan Yang Tak Terulang
            Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik lewat perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku secara umum. Masalah sosial sering kali yang bersifat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri dimanamungkin saja terjadi pengulangan yang sama dalam waktu yang berbeda namun tak pernah serupa seluruhnya. Beberapa kesimpulan yang bersifat umum mungkin saja dapat ditarik dari kejadian-kejadian yang mempunyai faktor-faktor yang serupa. Umpamanya antara peperangan, penyerbuan dan revolusi atau antara makhluk dewasa, remaja dan anak-anak. Walaupun begitu suatu kejadian soasial mempunyai hakikat yang unik dan tak terulang yang menyebabkan sipeneliti harus memahami kejadian tersebut dalam kontek secara keseluruhan. Usaha untuk mengadakan abstraksi dalam rangka menyusun keseimpulan yang bersifat umum terhadap beberapa kejadian sosial tak mungkin dilakukan sepenuhnya untuk tidak menghilangkan hakikat sebenarnya dari kejadian-kejadian tersebut. Bervariasinya kejadian-kejadian sosial ditambah sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.
d.      Hubungan Antara Ahli dan Obyek Penelaahan Sosial
            Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu indifidu melainkan barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau motif dari planet atau lautan. Tetapi ahli ilmu sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkahlaku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia untuk melakukan perubahan dalam tindakannya. Karena obyek penelaahannyailmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia mak gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang di dasari keinginan dan pilihan tersebut.
Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukaum yang bersifat umum mengenai proses tadi. Dia tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dan tudak setuju dengan proses tersebut. Dia hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Jika seseorang ahli ilmu alam menyusun sutu hipotesa untuk menerangkan gejala fisik tertentu maka dia tahu dengan pasti bahwa kesimpulannya yang bersifat umum tidak akan menubah karakteristik obyek yang ditelaah. Jika seorang ahli astronomi merumuskan suatu kesimpulan umum mengenai orbit dari planet-planet maka dia tak mengharapkan bahwa planet-planet tersebut terhadap teorinya. Kemudian benda-benda dirgantara tersebut akan tetap tidak berubah oleh kesimpulan tersebut. Mereka tak akan mengadakan kongres utuk berkampanye dalma rangka menghukum pengorbitan yang baru.
Ilmu-ilmu sosial tak bisa terlepas dari jalinan unsuru-unsur kejadian sosial. Kesimpulan  umum  mengenai suatu gejala sosial bisa mempengaruhi kegiatan sosial tersebut. Jika masyarakat menerima suatu teori menegenai gejala sosial tertentu maka terdapat kemungkinan bahwa mereka memutuskan untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan pengetahuan baru tersebut sehingga untuk selanjutnya kesimpulan itu tak berlaku lagi. Hal ini menyebabkan lebih sukarnya membuat ramalan dibidang ekonomi dan pendidikan dibandingkan dengan astronomi dengan fisika. Jika seorang ahli sosial meramalkan bahwa sejumlah 600 orang akan meninggal karena kecelakaan lalu lintas selama hari lebaran yang akan datang maka besar kemungkinan ramalan itu akan meleset. Masyarakat akan terkejut oleh pengumuman tersebut dan akan melakukan usaha-usaha untuk mengurangi bahaya kecelakan dengan berbagai usaha penyelamatan . penemuan dibidan ilmu alam baru akan kehilangan artinya setelah digantikan oleh penemuan baru yang mampu menerangkan obyek penelaahan yangs ama secara lebih baik. penemuan dibidang ilmu-ilmu sosial akan kehilangan artinya setelah penegetahuan tersebut menyebabkan manusia mengubah kondisi sosial mereka.
Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral dari obyek kehidupan yang ditelaahnya. Manusia bisa meneliti gejala fisik seperti struktur proto plasma tampa terlibat secara pribadi namun hal ini lain sekali dengan obyek penelaahan sosial. Minatnya, nilai-nilai hidupnya, kegemarannya, dan tujuan penelaahannya akan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam mempelajari gejala sosial tersebut. Sukar sekali bagi seorang manusia untuk tetap bersikap obyektif dalam masalah rasial umpamanya dibandingkan dengan reaksi kimia dalam tabung. Atau dalam mempelajari sistem komunisme dalam masyarakat dibandingkan dengan sistem tata surya dalam jagat raya. Keterlibatan secara emosional terhadap nilai-nilai tetentu menyebabkan seorang ahli ilmu-ilmu sosial cendrung untuk ikut bersetuju atau menolak suatu proses sosial tertentu. Menghilangkan kecendrungan-kecendrungan yang bersifat pribadi untuk tetap obyektif adalah sukar dalam penelaahan ilmu-ilmu sosial.
Ahli ilmu alam mempelajari fakta dimana dia memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terdapat pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta umpamanya menegani kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Untuk maksud tersebut dia mempelajari faktor-faktor seperti ciri-ciri dan sebab kemiskinan, kenakalan remaja, tingkat kegiatan membaca dan lain sebagainya. Namun seorang ahli ilmu sosial tidak berhenti disini, dia tidak tertarik hanya pada pola masyarakat seperti yang sekarang dia hadapi, dia akan cendrung untuk mengembangkan pemikiran mengenai pola masyrakat yang lebih di dambakan. Beberapa ahli ilmu sosial mencoba untuk tidak terlibat dalam persolan ini, namun secara tak sadar mereka beranggapan bahwa pola masyarakat yang ada sekarang cukup ideal untuk tidak diubah.beberapa peneliti mungkin juga tidak mencakup persolan mengenai pola yang seharusnya ini dalam penemuan mereka namun peneliti-peneliti selanjutnya mungkin akan mengembangkannya berdasarkan penemuan-pene,muan tadi. Karena obyek penelaahan ilmu-ilmu sosial sangat intim berhubungan dengan manusia yang bersifat penuh tujuan tertentu, makhluk yang selalu mencari nilai-nilai dalam aspek kehidupannya, ilmu-ilmu sosial menghadapi masalah yang unik yang tidak terdapat dalam ilmu-ilmu alam.
Ahli ilmu sosial harus mengatasi berbagai rintangan jika mereka berharap untuk membuat kemajuan yang berarti dalam menerangkan, meramalkan, dan mengontrol kelakuan manusia. Kemajuan ini hanya dapat dicapai lewat penyelidikan yang gigih dan sabar. Disebabkan kemajuan yang sangat pesat yang dicapai ahli-ahli ilmu alam dalam menyingkap rahasia dunia fisik dalam abad yang lewat, ahli ilmu-ilmu sosial harus memecahkan masalah kemanusiaan dengan tenaga baru. Perkemebangan tenaga atom, transportasi berkecapatan tinggi, dan proses otomatisasi telah menyebabkan masalah sosial berlipat ganda dan berbagai masalah ini harus dipecahkan bila masyarakat ingin terus hidup. Didalam dunia modern terdapat suatu kebutuhan yang mendesak dalam penelitian psikologi, pendidikan, sosiologi, dan ekonomi usaha yang sungguh-sungguh untuk mendidik sarjana yang dapat membewa kemajuan sosial sejajar dengan kemajuan dengan ilmu-ilmu alam.

e.       Perbedaan Antara Ilmu-Ilmu Alam Dan Ilmu-Ilmu Sosial : Suatu Pembahasan

Selama bertahun-tahun,ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah keritik, dimana keritik yang dikemukakan bermacam-macam, mulai dari keraguan tentang kegiatan ahli-ahli ilmu sosial karena”ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin”sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan ahli ilmu sosial karena” terlalu banyak pengetahuan sosial akan membahayakan kebebasan manusia” pembahasan ini akan mencoba memberikan penilaian terhadap beberapa pokok pembahasan yang penting yang disuarakan oleh para kritikus yang ragu-ragu terhapap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Marilah kita mualia dengan mempelajari argumentasi dari mereka yang berpendapat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki secara keilmuan, suatu kritik yang kadang-kadang dimulai dengan suatu pendapat bahwa hukum ilmu-ilmu sosial, jika memang ada, paling jauh hanya berupa “ semata-mata kemungkinan (probabilistik)”. Kadang orang menganggap bahwa kegagalan ahli ilmu-ilmu sosial dalam menerapkan hukum yang non-probabilistik adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang harus dihadapinya, suatu hal yang kontras sekali bila dibandingkan dengan bidang keilmuan dari disiplin-displin lain yang lebih beruntung. Adakah dasar bagi kritik ini?
Sebenarnya kritik ini agak sukar untuk dinilai karena beberapa kritikus yang melontarkannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa kritikus tidak saja menyerang rumitnya gajala sosial sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin, namun juga menyerang semua ilmu yang menurut mereka tidak mungkin karena rumitnya semua gejala. Dalam hal ini bukan saja prilaku manusia yang terlalu komplek,”untuk ditangkap” atau diterangkan oleh ilmu namun juga termasuk didalamnya bidang-bidang yang bukan sosial, seperti liku-liku dari pola sehelai daun, permainan cahaya dan bayang-bayang ditengah padang rumput pada suatu petang yang redup, mengalirnya secara perlahan suatu anak sungai pada kenyataannya mencakup semua gejala fisika dan biologi diman eksistensi mereka yang rumit dan unuk tak mungkin untuk dikotak-kotakkan secara keilmuan tanpa memutar balikkan keadaan yang sebenarnya. Ada baiknya untuk meninggalkan thesis tersubut mempelajari tuduhan yang serupa yang hanya menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam suatu kedudukan yang tak menyenangkan ini.
Ternyata bahwa baik argumentasi mengenai ketidak kemungkinan semua ilmu maupun ilmu sosial ditinjau dari segi deskripsi yang kasar, keunukan obyek abstraksi, pemutar balikkan penelaahan keilmuan dan ketidak mampuan untuk menagkap kenyataan, semuanya didasarkan pada anggapan salah tentang hakikiat ilmu.

f.          Kesalahan Tentang Hakikat Ilmu
Kesalahan disini dimulai dengan salah pengertian mengenai apa yang dianamakan ilmu dan apa yang dikerjakannya. Kesalahan dalam menjawab pertanyaan adalah demikian asasi, sebenarnya sukar untuk percaya bahwa orang akan membuat kesalahan ini, dimana terdapat anggapan bahwa fungsi ilmu adalah mereproduksikan kenyataan, dan oleh sebab itu maka ilmu yang tidak berhasil melakukannya adalah ilmu yang gagal.


















BAB III
PENUTUP


Ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi krisis kemusiaan.
Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, merupakan cabang ilmu yang memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan. Kedua jenis ilmu tersebut merupakan kajia yang dominan dalam pembelajaran di sekolah.
Hakikat perbedaan ilmu-ilmu alama dan sosial kadang dimaknai hanya pada bentuk materi kajian tanpa memahami tentang perbedaan kedua ilmu tersebut. Kajian yang mendasar tentang ilmu alam dan sosial dapat diberikan batasan tentang kategorisasi ilmu-ilmu lebih terarah dan serta kemungkinan katagorisasi cabang ilmu ilmu baru. Tinjauan yang mendasar dari perbedaan kedua ilmu tersebut adalah dengan menggunakan filsafat ilmu.






DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Anonim. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan. http://elearning.gunadarma.ac.id. 20/11/2009.
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

————–. 2006. Ilmu dalam perspektif sebuah kumpulan dan karangan tentang hakekat ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru
Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Lasiyo dan Yuwono. 1984. Pengantar Ilmu filsafat . Yogyakarta: Liberty.

Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21.  Yogyakarta. Kanisius
Ma’arif S. 1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh Nashir H. 1997.  Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Muchdhor M. 2002. Krisis Kemanusiaan dan Etika Global. Sinar Harapan.
Nashir H. 1997. Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
Sastrapratedja. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. 2nd ed. Yogyakarta. Liberty
Yuyun S. 1981. Ilmu dalam perspektif . Yogyakarta: Gramedia